Thread Rating:
  • 0 Vote(s) - 0 Average
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
Overdiagnosis daripada Kecolongan
#1
[justify]Kompas - Kerap terjadi, pasien datang ke dokter semasa gejala penyakitnya masih belum muncul lengkap (full blown). Umumnya setelah diberi obat, keluhan mereda. Mereka jadi merasa tidak sabar, lalu pindah ke dokter lain.

Tentu saja dengan berjalannya waktu, penyakit sudah lebih berkembang. Dokter yang kemudian memeriksa bisa menemukan dan melihat gambaran penyakit lebih lengkap. Bisa jadi dokter yang memeriksa kemudian lebih besar kemungkinan tepat mendiagnosisnya. Yang tampak bukan hanya daun sebuah pohon, melainkan sudah kelihatan ranting, dahan, bahkan mungkin terlihat buahnya.

Kalau seperti itu yang terjadi, apa berarti dokter yang pertama memeriksa lebih "bodoh" dari dokter yang memeriksa belakangan? Tentu saja tidak. Siapa pun  dokternya, kalau gejala dan tanda penyakit belum bulat utuh, penyakit belum bisa tepat  didiagnosis.

Karena saking seringnya dokter kecolongan mendiagnosis, khususnya DBD dan tifus, dokter cenderung melakukan diagnosis (working diagnosis) berlebihan (overdiagnosis). Artinya, mendiagnosis penyakit yang belum tentu benar bakal terjadi. Daripada kecolongan, mending berlebihan diagnosisnya.

Padahal, kalau overdiagnosis yang terjadi, yang dirugikan pihak pasien. Mungkin pasien diberi obat yang sebetulnya tidak diperlukan. Bukan saja kerugian ekonomi, melainkan juga tubuh harus memikul efek samping obat yang sebetulnya tidak perlu ada.

Sekali lagi, dengan memahami kondisi yang dokter hadapi dalam hal mendiagnosis hendaknya membuat masyarakat lebih bijak dalam menyikapi diagnosis  dokter. Bahwa tidak selalu mudah untuk setiap kondisi, setiap pasien datang, diagnosis  ditegakkan.

Dalam praktik, tidak mungkin dokter hanya mau menerima pasien yang gejala dan tanda penyakitnya sudah lengkap bulat utuh saja. Pasien bebas datang ke dokter kapan saja, tanpa boleh diseleksi hanya yang penyakitnya sudah berkembang parah saja.

Kebanyakan pasien berkecukupan sudah datang ke dokter ketika gejala dan tanda penyakitnya masih amat minimal. Dokter sering menghadapi kesulitan terhadap pasien kelompok ini.

Sebaliknya, pasien tak mampu justru baru datang ketika penyakitnya sudah parah, kala gejala dan tanda penyakitnya sudah lengkap "pohon", bukan baru daun atau rantingnya belaka.[/justify]

Sumber : Kompas
Reply


Forum Jump: